Sabtu, 29 Mei 2010

Pa’karaengang: Konsep Kepemimpinan Budaya Makassar Berbasis Kearifan Lokal Dalam Membentuk Pemimpin Berkarakter.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kepemimpinan kearifan lokal di Makassar, ciri kepemimpinan maupun efektifitas kepemimpinan ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian yang multidimensional. Seorang pemimpin adalah panutan, ia adalah simbol dari adat, semua sis dari dimensi kehidupan seorang pemimpin atau karaeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan panggadakkang. Di satu sisi karaeng sebagai suatu sosok tunipinawang (panutan) sedangkan rakyat sebagai sosok tumminawang (pengikut). Munculnya konsep kepemimpinan langsung pada masyarakat di Kerajaan Makassar bersumber pada konsep kalompoang dan gaukang yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan supranatural. Oleh karena itu, kalompoang dan gaukang mengandung kebesaran atau kehormatan. Kalompoang dan gaukang merupakan atribut kerajaan. Pa’karaengang sebagai konsep kepemimpinan dalam budaya Makassar dalam tulisan ini akan diadopsi sebagai suatu solusi ditengah degradsi dan krisis kepemimpinan bangsa. Pemimpin bangsa hari selalu berkolerasi dengan nuansa politis, sehingga bukan lagi kepentingan publik yang diutamakan tetapi kepentingan partai. Hal inilah yang sering memperkeruh keadaan dan kondisi suatu negera yang sedang dalam proses pemulihan dari krisis perekonomian yang selama ini melanda bangsa ini.
Saatnyalah, nuansa kearifan lokal yang diadopsi dari pemahaman orang Makassar dalam melahirkan pemimpin bangsa melalui penguatan budaya lokal Pa’karaengang. Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dalam sambutannya pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Baubau, tanggal 5 Agustus 2005 mengatakan, kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Fokus utama sajian ini adalah kearifan lokal dalam sastra Bugis klasik. Sastra Bugis klasik meliputi Sure Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), Lontarak, Paseng(pesan-Pesan), dan syair mengandung kearifan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama meliputi bawaan hati yang baik, konsep pemerintahan yang baik (good governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan masih sesuai dengan perkembangan zaman. Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur "demokrasi".
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk kearifan lokal di makassar ?
2. Apa hubungan kearifan lokal dalam konteks good governance ?




BAB II
PEMBAHASAN

A. Kearifan Lokal Di Makassar Dalam Bentuk Kepemimpinan Yang Berkarakter (Pa’karaengang).
Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berperadaban, hidup damai, hidup rukun, hidup bermoral, hidup saling asih, asah, dan asuh, hidup dalam keragaman, hidup penuh maaf dan pengertian, hidup toleran dan jembar hati; hidup harmoni dengan lingkungan, hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan, hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal. Kebudayaan merupakan hasil upaya yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan kehidupannya.
Dari segi kognitif, kebudayaan tidak hanya mencakup hal-hal yang telah dan sedang dilakukan atau diciptakan manusia, melainkan juga hal-hal yang masih merupakan cita-cita atau yang masih harus diwujudkan, termasuk norma, pandangan hidup atau sistem nilai. Cita-cita itu dapat diwujudkan melalui proses demokratisasi. Kebudayaan dan proses selektif terkontrol, yaitu suatu proses yang memiliki substansi kebebasan dan otonomi sekaligus terkontrol dengan nilai-nilai rujukan yang fundamental dan telah teruji dalam perjalanan zaman. Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan.
Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut lempu yang berasosiasi dengan kata jujur, sedangkan hiasan kuku dalam bahasa Bugis disebut pacci yang kalau ditulis dalam aksara Lontara' dapat dibaca paccing yang berarti suci atau bersih. Bagi manusia Bugis, segala macam perbuatan harus dimulai dengan niat suci karena tanpa niat suci (baik), tindakan manusia tidak mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Seseorang yang mempunyai bawaan hati yang baik tidak akan pernah goyah dalam pendiriannya yang benar karena penilainnya jernih. Demikian pula, ia sanggup melihat kewajiban dan tanggung jawabnya dengan lebih tepat
Kedua, manusia sanggup untuk mengejar apa yang memang direncanakannya, tanpa dibelokkan ke kiri dan ke kanan. Kutipan Lontara' di atas menitikberatkan pentingnya seorang individu untuk memelihara arah hatinya. Manusia dituntut untuk selalu berniat baik kepada sesama. Memelihara hati untuk selalu berhati bersih kepada sesama manusia akan menuntun individu tersebut memetik buah kebaikan. Sebaliknya, individu yang berhati kotor, yaitu menghendaki keburukan terhadap sesama manusia, justru akan menerima akibat buruknya. Karena itu, tidak ada alasan bagi seorang individu untuk memikirkan hal-hal buruk terhadap sesama manusia. Dengan kata
lain, agar setiap individu dapat memetik keberuntungan atau keberhasilan dalam hidup sesuai dengan cita-citanya, ia terlebih dahulu harus memelihara hatinya dari penyimpangan-penyimpangan. Jika menginginkan orang berbuat baik kepadanya, ia harus terlebih dahulu berniat dan berbuat baik kepada orang tersebut.
Ketiga, manusia tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu-nafsu, emosi-emosi, perasaan-perasaan, kecondongan-kecondongan, melainkan diatur suatu pedoman (toddo), yang memungkinkannya untuk menegakkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam emosi, nafsu dan perasaan dangkal. Jadi, pengembangan sikap-sikap itu membuat kepribadian manusia menjadi lebih kuat, lebih otonom dan lebih mampu untuk menjalankan tanggung jawabnya. Dalam Lontara' Latoa ditekankan bahwa bawaan hati yang baik menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang sekaligus menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Di samping bawaan hati yang baik sebagai motor pendorong dalam manifestasi perbuatan manusia dalam dunia realitas, terdapat lagi suatu hal dalam diri manusia yang harus dipelihara, yaitu pikiran. Bagi manusia Bugis, hati dan pikiran yang baik merupakan syarat untuk menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.

B. Kearifan Lokal Dalam Konsep Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance).
Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan,yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral. Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis: Maccai na Malempu, Waraniwi na Magetteng (Cendekia jujur dan berani teguh dalam pendirian).
Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disetrtai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah:
1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.
2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.
3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan rakyat.
4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.
5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).
6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.
7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.
8. Jujur dalam segala keputusannya.
Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi,
keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara. Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).

Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur demokrasi. Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut:
1. Mannganro ri ade', memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
2. Mapputane', menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.
3. Mallimpo-ade', protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane' gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.
4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.
5. Mallekke' dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: "Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya".





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lontarak memperingatkan bahwa sifat serakah atau tamak, sewenang-wenang, curang, perbuatan tega atau tidak menaruh belas kasihan kepada orang lain dapat menghancurkan nilai kepatutan dan dapat menimbulkan kerusakan dalam negara. Pertama, keserahan atau ketamakan, menghilangkan rasa malu sehingga mengambil hak-hak orang lain bukan lagi hal yang tabu. Karena, orang yang bersifat serakah atau tamak tidak pernah merasa cukup sehingga apa yang dimiliki selalu dianggap kurang. Kedua, kekerasan akan menyebabkan melenyapkan kasih sayang di dalam negeri. Artinya, rakyat kecil harus mendapat perlindungan demi tegaknya suatu negara, tetapi kalau pihak yang berkuasa berbuat sewenang-wenang (hanya unjuk kekuatan) berarti kasih sayangnya kepada masyarakat akan hilang yang sekaligus memperlemah kedaulatan rakyat. Ketiga, kecurangan akan memutuskan hubungan keluarga artinya: orang yang curang tidak pernah merasa puas atas hak-haknya sendiri. Ia selalu berpikir untuk memiliki hak-hak orang lain. Orang seperti itu, akan menemukan kesulitan dalam hidupnya karena tidak ada orang yang akan mempercayainya. Keempat, perbuatan tega terhadap sesama manusia, melenyapkan kebenaran di dalam negeri. Artinya, para pejabat negeri dituntut untuk berbuat adil kepada rakyatnya. Berbuat tidak adil berarti kebenaran dilecehkan dan bila kebenaran dilecehkan berarti kehancuran bagi negeri. Karena itu, agar negara selamat dan berhasil, para pemimpin haruslah berbekal kejujuran disertai dengan kepatutan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, kearifan lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga.

Pa’karaengang: Konsep Kepemimpinan Budaya Makassar Berbasis Kearifan Lokal Dalam Membentuk Pemimpin Berkarakter.

ABSTRAKSI :
Dalam kepemimpinan kearifan lokal di Makassar, ciri kepemimpinan maupun efektifitas kepemimpinan ditentukan oleh sifat-sifat kepribadian yang multidimensional. Seorang pemimpin adalah panutan, ia adalah simbol dari adat, semua sis dari dimensi kehidupan seorang pemimpin atau karaeng perilaku dan hubungan-hubungan sosialnya adalah pencerminan panggadakkang. Di satu sisi karaeng sebagai suatu sosok tunipinawang (panutan) sedangkan rakyat sebagai sosok tumminawang (pengikut). Munculnya konsep kepemimpinan langsung pada masyarakat di Kerajaan Makassar bersumber pada konsep kalompoang dan gaukang yang dianggap oleh masyarakat memiliki kekuatan supranatural. Oleh karena itu, kalompoang dan gaukang mengandung kebesaran atau kehormatan. Kalompoang dan gaukang merupakan atribut kerajaan. Pa’karaengang sebagai konsep kepemimpinan dalam budaya Makassar dalam tulisan ini akan diadopsi sebagai suatu solusi ditengah degradsi dan krisis kepemimpinan bangsa. Pemimpin bangsa hari selalu berkolerasi dengan nuansa politis, sehingga bukan lagi kepentingan publik yang diutamakan tetapi kepentingan partai. Hal inilah yang sering memperkeruh keadaan dan kondisi suatu negera yang sedang dalam proses pemulihan dari krisis perekonomian yang selama ini melanda bangsa ini. Saatnyalah, nuansa kearifan lokal yang diadopsi dari pemahaman orang Makassar dalam melahirkan pemimpin bangsa melalui penguatan budaya lokal Pa’karaengang.
Kearifan lokal, atau dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijaksanaan setempat "local wisdom" atau pengetahuan setempat "local knowledge" atau kecerdasan setempat "local genious, merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal di berbagai daerah di seluruh Nusantara merupakan kekayaan budaya yang perlu diangkat kepermukaan sebagai bentuk jati diri bangsa. kearifan lokal yang terdapat di berbagai daerah di Nusantara, seharusnya diangkat dan dihargai sebagai salah satu acuan nilai dan norma untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.
Fokus utama sajian ini adalah kearifan lokal dalam sastra Bugis klasik. Sastra Bugis klasik meliputi Sure Galigo, Lontarak, Paseng/Pappaseng Toriolota/ Ungkapan, dan Elong/syair. Sastra Bugis klasik, seperti Galigo (yang dikenal sebagai epik terpanjang di dunia), Lontarak, Paseng(pesan-Pesan), dan syair mengandung kearifan masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Kearifan lokal yang menjadi fokus utama meliputi bawaan hati yang baik, konsep pemerintahan yang baik (good governance), demokrasi, motivasi berprestasi, kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan penegakan hukum. Kearifan itu memiliki kedudukan yang kuat dalam kepustakaan Bugis dan masih sesuai dengan perkembangan zaman. Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur "demokrasi".